Contoh Makalah Optimalisasi Pelayanan Publik

BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN ADMINISTRASI PUBLIK
Menurut Wikipedia, ilmu administrasi publik adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting dalam kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan publik, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara. Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan publik (publik interest) dan urusan publik (publik affair). Sedangkan fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari ilmu administrasi publik. Yang menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.
Administrasi Publik atau dulu dikenal dengan Administrasi Negara pada dasarnya adalah sebuah bentuk kerjasama administratif yang dikerjakan oleh 2 orang atau lebih demi mencapai tujuan bersama. Goal dari administrasi publik itu sendiri adalah Publik Service atau Pelayanan Publik. Administrasi publik memiliki kajian ilmu tentang Politik, Hukum, Sosial serta Manajemen. Salah satu tugas dari Administrasi Publik adalah pembuat kebijakan atau Policy Maker yang dikenal dengan Kebijakan Publik. Artinya para administrator ini membuat suatu kebijakan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di Publik ( masyarakat ).
Pengertian Administrasi publik menurut para ahli
Beberapa pakar negarawan yang mendefinisikan administrasi publik banyak sekali, di antaranya :
 Gerald Caiden: Administrasi negara meliputi setiap bidang dan aktifitas yang menjadi sasaran kebijaksanaan pemerintah, termasuk proses formal dan kegiatan-kegiatan DPR, fungsi-fungsi yang berlaku dalam lingkungan pengadilan dan kegiatan-kegiatan dari lembaga militer.
 Dwight Waldo: Publik Administration is the organization and management of men and materials to achieve the purposes of government (Administrasi Publik adalah organisasi dan manajemen dari orang-orang dan bahan-bahan untuk mencapai tujuan pemerintah).
 Soesilo Zauhar (Dosen Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya ): Administrasi negara/ publik adalah proses kerjasama yang berlaku dalam organisasi publik dalam rangka memberikan pelayanan publik.
 Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1953), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Wilson dalam Shafritz dan Hyde (1992) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat.
 Wilson mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan dari ilmu politik. Namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai dikotomi politik-administrasi. Sejak itu, selama satu abad lebih, administrasi publik baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
 Kajian tentang administrasi publik tidak terlepas dari organisasi pemerintah dalam penanganan masalah-masalah publik. Bellone (1982:1) berpendapat bahwa the discipline of public administration is predicated on the study of organization. Teori organisasi, hipotesis tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintahan yang kompleks dan teori administrasi serta hipotesis tentang perilaku manusia dalam kelompok kerja, merupakan dasar dalam teori administrasi publik. Hingga dapat dijelaskan bahwa administrasi publik berbicara tentang perilaku manusia dalam organisasi pemerintah. Bahkan Shafritz dan Russell (2005:5) mengemukakan bahwa it is easy to define administration if you are content with being simplistic: it is governmnet in action – the management of public affairs on the implementation of publik policies.

B. KAITAN ADMINISTRASI PUBLIK DENGAN PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan publik merupakan salah satu bidang yang dikaji oleh Ilmu Administrasi publik, karena seperti diketahui bahwa lokus dari ilmu administrasi publik adalah kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair). Dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik. Tugas Administrasi Publik Adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat dan masyarakat kehendak rakyat. Bukanlah sebaliknya rakyat yang mengabdi kepada kepentingan administrasi publik. Untuk membangun pelayanan publik yang berorientasi kepada kepentingan publik maka dibutuhkan administrasi atau birokrasi yang profesional. Lewat upaya penataan administrasi yang baik, pastinya akan berakibat baik pula terhadap pelayanan yang diberikan. Oleh sebab itu, maka administrasi publik sangat berkaitan erat dengan pelayanan publik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PELAYANAN PUBLIK
Menurut Lonsdale (1994), pengertian dari pelayanan publik ialah segala sesuatu yang disediakan oleh pemerintah atau swasta karena umumnya masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kecuali secara kolektif dalam rangka memenuhi kesejahteraan sosial seluruh masyarakat. Sedangkan pengertian pelayanan publik menurut undang-undang no.25 pertahun 2009 ialah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang , jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Secara luas istilah Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan dan obyek obyek tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum (the general publik) atau memberikan dukungan terhadap upaya meningkatkan kenikmatan dan kemudahan (comfort and conveniences) bagi seluruh masyarakat. Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, istilah “pelayanan publik” diartikan sebagai:
”segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pelayanan publik oleh Kepmenpan No. 63/2003 terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu :
 Kelompok Pelayanan Administratif : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen formal yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan administrasi misalnya penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:
 Status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);
 Status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor, dll.);
 Status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.).
 Kelompok Pelayanan Barang : yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll.).
 Kelompok Pelayanan Jasa: yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, penyelenggaraan post, dll.).
Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakan hak-hak dasar manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan, pekerjaan yang layak, jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan lain sebagainya, akan tetapi juga menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat sehari-hari, seperti perijinan, identitas status, penyaluran kebutuhan bahan pokok, transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya.
Dalam pelayanan publik, ada asas-asas yang digunakan agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik. Asas-asas tersebut adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja, serta pedoman penilaian-kinerja bagi setiap lembaga penyelenggara pelayanan publik. Asas-asas yang dapat dikategorikan sebagai asas-asas umum administrasi publik yang baik (general principles of good administration) ini harus bersifat umum dan adaptif terhadap keunikan jenis-jenis pelayanan yang mungkin diselenggarakan secara publik. Bersifat umum karena asas-asas ini secara langsung menyentuh hakekat pelayanan publik sebagai wujud dari upaya pelaksanaan tugas pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau tugas pelaksanaan perintah peraturan perundang-undangan. Bersifat adaptif, karena asas-asas ini harus dapat berfungsi sebagai acuan dalam setiap kegiatan administrasi negara yang bersentuhan langsung dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik di bidang pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi dari ketiganya.
Asas-asas tersebut adalah :

1. Asas Keterbukaan (openness)
Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa para stakeholders dapat mengandalkan proses pengambilan keputusan, tindakan-tindakan oleh institusi-institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta pengelolaan sumber-sumber daya manusia di dalam institusi-institusi pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi) yang diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan jelas dengan para stakeholders menjadi salah satu prinsip utama dari suatu good governance, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
2. Asas Integritas
Integritas mengandung makna “berurusan secara langsung” (straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas dan standar kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana dan sumber daya publik.
3. Asas Akuntabilitas
Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dibuatnya, serta kebersediaan untuk menjalani proses pengawasan baik eksternal (dari masyarakat) maupun internal (dari atasan). Singkatnya, akuntabilitas melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant .
4. Asas Legalitas
Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalankan sesuai dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Legalitas di sini seyogyanya diartikan secara luas dan tidak hanya mencakup legalitas formal saja, tetapi juga legalitas dalam arti material/substansial .
5. Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama
Institusi-institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada warga masyarakat, tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan, kemampuan fisik, aspirasi politik, dsb. Artinya, perlakuan yang berbeda terhadap suatu kasus yang pada dasarnya sama dengan kasus-kasus lain, harus secara tegas mendapatkan pembenarannya di dalam fakta-fakta khusus yang relevan di dalam kasus tersebut.
6. Asas Proporsionalitas
Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyelenggaraan pelayanan publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan yang diambil oleh institusi pelayanan publik harus berbanding secara proporsional dengan tujuan atau manfaat yang hendak diperoleh oleh warga masyarakat ybs. Asas ini berkaitan erat dengan beban-beban administratif, biaya dan waktu pelayanan yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka hendak memperoleh pelayanan publik.
7. Asas Konsistensi
Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi-institusi pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola-kerjanya yang normal dalam perilaku administratifnya. Artinya juga, penyimpangan terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan khusus, dsb) harus memperoleh pembenarannya secara sah (duly justified).

B. PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
Pelayanan publik di Indonesia masih rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002.
Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. Tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :
a) pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama.
b) Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan.
c) Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tersebut.
Optimalisasi pelayanan publik dalam birokrasi pemerintahan memang bukanlah pekerjaan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan mengingat pembaharuan tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah terkultur dalam lingkaran birokrasi pemerintahan kita. Di antara beberapa aspek tersebut adalah kultur birokrasi yang tidak kondusif yang telah lama mewarnai pola pikir birokrat sejak era kolonial dahulu. Prosedur dan etika pelayanan yang berkembang dalam birokrasi kita sangat jauh dari nilai-nilai dan praktik yang menghargai warga bangsa sebagai warga negara yang berdaulat. Prosedur pelayanan, misalnya, tidak dibuat untuk mempermudah pelayanan, tetapi lebih untuk melakukan kontrol terhadap perilaku warga sehingga prosedurnya berbelit-belit dan rumit. Tidak hanya itu, mulai masa orde baru hingga kini, eksistensi PNS (ambtennar) merupakan jabatan terhormat yang begitu dihargai tinggi dan diidolakan publik, khususnya jawa. Sehingga filosofi PNS sebagai pelayan publik (publik servant) dalam arti riil menghadapi kendala untuk direalisasikan.
Hal ini terbukti dengan sebutan pangreh raja (pemerintah negara) dan pamong praja (pemelihara pemerintahan) untuk pemerintahan yang ada pada masa tersebut yang menunjukkan bahwa mereka siap dilayani bukan siap untuk melayani. Di samping itu, kendala infrastruktur organisasi yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Terlihat dengan belum terbangunnya kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.
Secara singkat, permasalahan dalam pelaksanaan pelayanan publik yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi masyarakat/anggota masyarakat.
b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit, sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dsb.
c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (publik complaints/grievance system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa peraturan perUUan yang tampaknya dipersiapkan sebagai ‘umbrella regulation’ di bidang pelayanan publik yang berlaku secara nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik (publik complaints, publik grievance standards and procedure).

Beberapa alasan kenapa berbagai masalah tersebut muncul dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik adalah :
a. Kegiatan pemerintah bersifat monopoli, tanpa kompetisi tidak akan tercapai efisiensi.
b. Lebih mengandalkan kewenangan daripada mekanisme pasar maupun kebutuhan konsumen.
c. Belum adanya akuntabilitas secara lengkap pada kegiatan pemerintahan.
d. Lebih mengutamakan pandangan diri sendiri daripada pandangan konsumen yg dilayaninya.
e. Kesadaran masyarakat sbg konsumen produk pemerintahan masih sangat lemah, sehingga masyarakat lebih banyak berposisi sbg obyek.

C. PEMERINTAH DAN SWASTA DALAM PELAYANAN PUBLIK
Di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka dalam mengakses dan menggunakan pelayanan publik, akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut umumnya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.
Sebaliknya, pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, pada kenyataannya hanya sebuah retorika, sebab urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat dikerjakan semua hanya oleh pemerintah.
Menurut Miftah Thoha, pelayanan publik dapat dipahami sebagai suatu usaha oleh seorang/ kelompok orang, atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (1991).
Hanya saja, dalam rangka melakukan optimalisasi pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan bukanlah tugas yang mudah mengingat usaha tersebut menyangkut berbagai aspek yang telah membudaya dalam lingkaran birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu kemudian peran swasta sangat diharapkan untuk melengkapi pemerintah dalam menciptakan kualitas pelayanan publik yang optimal.
Keterlibatan swasta dalam optimalisasi pelayanan publik tentu saja sangat mendukung dalam pencapaian tujuan besar yaitu Good Governance, dalam konsep Good Governance, peran masyarakat dan sektor swasta menjadi sangat penting karena adanya perubahan paradigma pembangunan dengan meninjau ulang peran pemerintah dalam pembangunan, yang semula berperan sebagai regulator dan pelaku pasar, menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Tentu saja hal ini bisa diwujudkan apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah memiliki kapabilitas yang memadai.
Hal ini kemudian bisa dipahami bahwa pemerintah, khususnya di negara-negara ketiga, kini tak lagi mendominasi atau memonopoli peran penyediaan pelayanan publik yang bermutu. Maka, konsep ini tentu saja berbeda dengan kondisi yang terjadi pada era sebelum tahun 1970-an dimana pada masa itu konsep demokrasi yang berlaku di berbagai negara masih terkesan otoriter. Beberapa contohnya adalah yang terjadi di Argentina, Brazil, Chile, Filipina, korea selatan, Nigeria, Pakistan, Thailand, Uruguay, Yunani dan sebagainya pada dasawarsa 1960 dan awal 1970-an. (Mas’oed, 2003).
Lain halnya, Di Indonesia sendiri aroma otoriterianisme sangat kental terasa pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, salah satu contohnya adalah terjadinya penataan kembali organisasi perburuhan. Penataan tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga organisasi buruh pada akhirnya tak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah orde baru yang merepresentasikan tujuan-tujuan ekonomi dan politik negara orde baru.
Penataan gerakan buruh Indonesia pada masa Orde Baru dibagi ke dalam 3 fase, yaitu fase 1966 hingga 1970-an sebagai fase pelarangan terhadap segala bentuk pengorganisasian serikat buruh, karena hampir semua serikat buruh adalah produk afiliasi partai politik sayap kiri atau yang beraliran komunis.
Fase kedua yang teradi pada awal 1970-an hingga 1990-an adalah pengambilalihan terhadap seluruh kekuatan Serikat buruh di bawah kendali Golkar dan Militer. Pada tahap ini, politik perburuhan Orde Baru berjalan secara relatif moderat dimana serikat buruh diperbolehkan muncul di bawah kendali ketat negara. Politik pengendalian dan pengawasan bahkan berlangsung hingga di tempat kerja dengan mengintervensi proses pemilihan pemimpin serikat buruh, membatasi kenaikan upah, dan menghindari tumbuhnya serikat buruh Krisis Radikal.
Fase ketiga berlangsung pada tahun 1990 hingga 1998 dimana kebijakan ekonomi pasar menjadi kedok pemerintah untuk melanjutkan eksploitasi atas buruh dengan memperkenalkan konsep Hubungan Industrial Pancasila. Perangkat ini dimaksudkan sebagai instrumen guna memperkuat kontrol negara terhadap buruh yang diselaraskan dengan tuntutan negara terhadap buruh yang diselaraskan dengan tuntutan negara kreditor yang meminta agar pemerintah lebih memperhatikan hak-hak buruh. (Jurnal Sosial Demokrasi, vol 7. No.2 September – Desember 2009).
Berakhirnya era orde baru pada tahun 1998 yang kemudian digantikan oleh orde reformasi, praktis kemudian menyebabkan lahirnya banyak sekali organisasi-organisasi buruh yang menampung kepentingan buruh. Hal ini didukung pula oleh berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Habibie maupun Gus Dur melalui berbagai produk perundang-undangan. Keberadaan organisasi-organisasi buruh inilah yang selanjutnya bisa diartikan sebagai salah satu elemen swasta (non government) yang berdiri secara independen untuk mewujudkan kesejahteraan kaum buruh dan pekerja melalui kemampuan mengakses pelayanan publik yang ada.
Namun, hal ini bukan pula berarti bahwa selama pemerintahan orde baru, tidak ada sama sekali sektor swasta yang berdiri di luar pemerintahan, sebab sejak tahun 1970-an, mulai muncul komunitas bisnis dan para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Masalah perekonomian yang terjadi pada era 1980-an menghadapkan pemerintahan pada keharusan struktural untuk memberi perhatian lebih besar kepada kelompok bisnis hilir yang menghasilkan barang-barang konsumsi untuk pasar domestik maupun internasional. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengakuan resmi terhadap KADIN pada tahun 1987 sebagai satu-satunya saluran komunikasi antara pemerintah dan pengusaha yang juga melambangkan sikap pemerintah yang akomodatif. KADIN pun kemudian diharapkan bisa menjadi suatu badan yang memperjuangkan dunia usaha dan bukan sekedar organisasi yang dijalankan oleh pemerintah.
Sementara itu, di ranah sosial, lahirnya LSM-LSM di masyarakat yang bergerak di berbagai bidang seperti hukum, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat desa dan lain sebagainya juga cukup memberikan sesuatu yang positif bagi masyarakat. Dalam bidang pembangunan misalnya, mereka mampu mengajukan suatu alternatif terhadap program pembangunan yang cenderung sentralistis. Alternatif itu disebut sebagai ”pembangunan partisipatoris”, suatu program pembangunan yang dirancang dengan rakyat sebagai subyek dari proses pembangunan.
Dalam negara yang harus menghadapi krisis ekonomi dunia dan semakin menipisnya sumber daya, LSM dapat menawarkan jasa yang menarik. Mereka dapat membantu pemerintah menyelesaikan masalah-masalah pembangunan masyarakat desa dengan cara memobilisasi sumber daya lokal untuk digunakan secara produktif. Selain itu LSM juga memiliki potensi untuk membangun suatu jaringan internasional yang dapat dimobilisasikan untuk mendukung perjuangan mereka di dalam negeri. Dengan demikian, LSM menjadi salah satu faktor penting dalam proses pembangunan. (Mas’oed, 2003).
Selain itu, tentu saja masih ada banyak sekali berbagai contoh peran swasta dalam usaha pencapaian pelayanan publik yang optimal dan mensejahterakan rakyat. Namun, pada intinya peran swasta pada saat ini memiliki fungsi yang sangat strategis baik sebagai agen kontrol terhadap pemerintah maupun sebagai pelengkap fungsi pemerintah yang tidak mampu secara optimal menyediakan fasilitas pelayanan publik di berbagai bidang. Sementara itu, dengan semakin meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai demokrasi, maka pemerintah juga tidak lagi memiliki superioritas mutlak untuk mengendalikan keberadaan sektor swasta apalagi melalui tindakan-tindakan represif. Maka dapat disimpulkan, pada titik ini pemerintah tak lagi memegang dominasi atau monopoli penuh terhadap penyelenggaraan perekonomian, politik, sosial, dan pelayanan publik.

Langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik :
Seperti di jelaskan di atas, bahwa perlu diadakan optimalisasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah dan swasta sehingga nantinya dapat tercipta kesejahteraan yang seperti diharapkan, hal tersebut dapat dilakukan dengan :
o Membangun budaya melayani di kalangan birokrasi (lihat semangat yang terkandung di dalam UU Nomor 22/1999 maupun UU Nomor 32/2004).
o Membangun keasadaran bahwa fungsi utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan pada masyarakat, bukan lagi sebagai promotor pembangunan seperti pada era UU Nomor 5 Tahun 1974.
o Membangun kesadaran masyarakat sbg konsumen.
o Memperkuat unit-unit organisasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat (dinas, kecamatan, kelurahan).
o Memperkuat dan meningkatkan kualitas orang-orang yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat (front line officer).
o Mengembangkan unit-unit organisasi pelayanan agar dekat dengan konsumen (konsep “close to the customers”). Mengembangkan sistem pelayanan “one stop service” dan atau “one roof system” yang sesungguhnya.
o Mengadakan survey kepuasan pelanggan secara periodik.
o Mengadakan lomba diantara unit-unit pemberian pelayanan yang sejenis dengan penilai dari masyarakat yang dilayani.
o Mengembangkan pendekatan “publik choice” sehingga kebutuhan dan keinginan masyarakat yang beraneka ragam dapat terpenuhi dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan.
o Mengembangkan sistem insentif yang menarik bagi unit-unit yang berhasil memuaskan pelanggan.
o Menciptakan standar pelayanan umum.
o Memberikan “reward and punishment” yang seimbang.
o Mengadakan kompetisi pelayanan untuk instansi yang memberikan pelayanan sejenis.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyakit dalam pelayanan publik dan sistem birokrasi, seperti pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, diskriminasi pelayanan, proseduralisme dan berbagai macam kegiatan yang tidak efektif dan efisien, Telah mengakibatkan terpuruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintahan kita. Hal ini akan dapat memperparah keadaan apabila tidak ada peningkatan keseriusan dalam penangannya. Lebih kurang inilah yang terjadi saat sekarang ini. Peran pemerintah dan swasta sangat di butuhkan demi terciptanya kenyamanan dalam pelayanan masyarakat.
B. SARAN
Pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang mengayuh, memberi wewenang ketimbang melayani, menyuktikkan persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan, digerakkan oleh misi bukan peraturan, berorientasi pada hasil (outcome) bukan masukan (income), berorientasi pada pelanggan bukan pada birokrasi, menghasilkan ketimbang membelanjakan, mencegah ketimbang mengobati, desentralisasi dan pemerintah berorientasi pasar, seharusnya diterapkan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam melakukan pelayanan tersebut, harus diadakan langkah- langkah seperti di bawah ini agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
a. Kesederhanaan pelayanan.
b. Kejelasan dan kepastian pelayanan.
c. Keamanandan kenyamanan pelayanan.
d. Keterbukaan informasi.
e. Efisiensi dalam mengurus pelayanan.
f. Ekonomis.
g. Keadilan.
h. Dan ketepatan waktu pelayanan.
Dalam Keputusan MENPAN nomor 81 / 1993 dijelaskan sendi-sendi pelayanan prima, hal ini haruslah di pedomani secara baik agar langkah-langkah yang telah terjadwalkan tersebut tidak mengalami kegagalan atau kurang dalam pencapaiannya. Sendi-sendi tersebut adalah :
a) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselanggarakan secara mudah, lancar, cepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
b) Kejelasan dari kepastian; adanya kejelasan dan kepastian mengenai:
o Prosedur / tata cara pelayanan umum.
o Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif.
o Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum.
o Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya.
o Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum.

c) Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan, permohonan / kelengkapan sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan umum hingga ke penyelesaiannya.
d) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas, dan atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (pelanggan).
e) Keamanan dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.
f) Keterbukaan dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya /tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
g) Efisien dalam :
o Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan.
o Dicegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama dalam hal proses pelayanannya kelengkapan persyaratan dari satuan ketja / intansi pemerintah lain yang berkaitan.
f) Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:
 Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran.
 Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum.
 Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
g) Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlukan secara adil.
h) Ketetapan waktu, artinya pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Selain itu, para pelayan publik harus juga bersifat seperti berikut, juga untuk kelancaran :
a) Bertindak jujur, disiplin, proporsional dan profesional.
b) Bertidak adil dan tidak diskriminatif.
c) Peduli, teliti dan cermat.
d) Bersikap ramah dan bersahabat.
e) Bersikap tegas, dan tidak memberikan pelayanan yang berbelit-belit.
f) Bersikap mandiri dan dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun.
g) Transparan dalam pelaksanaan dan mampu mengambil langkah-langkah yang kreatif dan inovatif.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com
http://www.yahoo.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Administrasi_publik
http://rizaaditya.com/category/administrasi-publik

Tentang onyosboy

just a simple person =)
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized dan tag . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar